Magelang, KabarTerkiniNews.co.id – Di seluruh tanah air, pada hari Minggu (17/08/2025) merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Dari tingkat pusat hingga daerah menggelar Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi dengan khidmat. Hingga hari ini kemeriahan masih berlangsung di sejumlah daerah dan wilayah dengan berbagai acara untuk memeriahkan bulan kemerdekaan.
Menilik usianya yang sudah 80 tahun merdeka, semestinya bangsa ini mulai hidup layak dan sejahtera, namun pada kenyataannya, kemiskinan masih menjadi masalah di tanah air. Slogan di masa Orde Baru: Indonesia Menuju Era Tinggal Landas, ternyata masih tahap “menuju” atau “masih tinggal di landasan”. Kemiskinan masih menjadi kondisi yang banyak ditemui di seluruh tanah air, dan terus menjadi bahan pembicaraan bila berbicara tentang kekayaannya negara dan kebijakan pemerintah.
Kemiskinan seolah “sengaja” dibuat selalu ada, bahkan cenderung semakin meningkat jumlahnya. Kemiskinan memicu hal lain sebagai dampaknya, seperti kesehatan, pendidikan, kelayakan tempat tinggal, hingga masalah hukum. Semua itu menjadi kewajiban negara sesuai amanat Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945.
Dikutip dari situs resmi DPR RI, isi ayat 1-4 Pasal 34 UUD 1945 (amandemen) adalah sebagai berikut:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung-jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Tujuan utama dari pasal ini adalah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan memenuhi hak-hak dasar fakir miskin dan anak-anak terlantar. Sehingga mereka dapat hidup layak dan bermartabat. Dengan demikian, pasal ini menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam melindungi dan menyejahterakan fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Dengan demikian, pemerintah wajib memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar dengan sistem jaminan sosial serta fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
Menelisik kalimat “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”, tentunya ada tindakan nyata yang dilakukan negara. Namun masih dirasakan bahwa kata “dipelihara” diartikan secara sangat lugas, sehingga seolah “disengaja” agar beranak pinak, semakin banyak, dan selalu ada. Hal itu akan menjadi “senjata” bagi para calon kepala daerah atau calon anggota legislatif saat berkampanye. Yaitu dengan slogan “pembela rakyat miskin”, “pro rakyat miskin”, “wakilnya wong cilik”, dan sebagainya.
Masyarakat miskin bukan komoditi yang bisa dijualbelikan, bukan pula komoditas politik untuk kepentingan sepihak. Masyarakat miskin adalah masyarakat yang perlu dibantu agar lebih sejahtera, dan itu menjadi tugas utama negara.
Kemiskinan timbul dari beberapa sebab, salah satunya kurangnya pendidikan. Sementara kemiskinan juga bisa menghambat seseorang meraih jenjang pendidikan yang tinggi. Meskipun pemerintah telah mengucurkan beasiswa melalui berbagai program, namun belum seluruhnya tersentuh program-program itu.
Masih banyak kasus anak tidak melanjutkan kuliah karena orang tuanya miskin. Pendidikan gratis belum 100 persen terlaksana, karena berbagai macam uang sekolah yang harus dibayarkan. Seperti contoh anak tak dapat ikut ujian karena belum lunas uang ini, uang itu dan sebagainya.
Dijelaskan dalam JDIH Kemenkeu, Pasal 34 UUD 1945 ini mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Bagi keduanya, pemerintah dan pemerintah daerah memberi rehabilitasi sosial jaminan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan sosial sebagai wujud pelaksanaan kewajiban negara dalam rangka menjamin terpenuhinya hak kebutuhan dasar warga negara yang miskin serta tidak mampu.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa penyelenggaraan kesejahteraan sosial ini membutuhkan peran masyarakat seluas-luasnya, baik itu perseorangan, keluarga, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, atau juga lembaga kesejahteraan sosial asing agar terselenggara kesejahteraan sosial yang terarah, terpadu, serta berkelanjutan.
Namun di tingkat daerah, penyelenggaraan kesejahteraan sosial belum banyak menyentuh masyarakat miskin, masih sebatas seremonial dan insidental. Belum terarah, terpadu dan berkelanjutan.
Semoga pada momentum 80 tahun Indonesia Merdeka ini, masyarakat miskin mulai sejahtera dan kemiskinan berangsur berkurang. Diharapkan angka kemiskinan di tanah air benar-benar “turun” bukan “turun temurun”. Sehingga pada, Indonesia Emas Tahun 2045 masyarakat Indonesia benar-benar sejahtera, selaras dengan negerinya yang kaya raya. Dirgahayu bangsa Indonesia!
Narwan, S.Pd
Sekretaris A-PPI Magelang Raya
Nurul Abadi