Di sebuah kampung kecil, saya pernah bertemu dengan seorang nenek penjual gorengan yang baru saja pulang dari Tanah Suci. Di tangannya masih terlihat bekas gelang haji. Ia bercerita sambil tersenyum.
“Saya tidak tahu kenapa, tapi Allah bawa saya ke sana. Padahal saya cuma jual gorengan,” simpul ceritanya.
Cerita itu mengguncang hati saya. Karena di saat yang sama, saya tahu betul ada orang-orang yang jauh lebih mampu, lebih mapan, bahkan lebih aktif beribadah, namun hingga hari ini belum kunjung berangkat haji. Maka timbul satu pertanyaan yang tidak mudah dijawab: Mengapa bisa berhaji terasa seperti misteri?
Antara Panggilan dan Kesadaran Ilahiah
Selama ini kita mengenal istilah “Panggilan Allah” sebagai alasan mengapa seseorang bisa berhaji. Sebuah ungkapan yang terdengar indah, bermakna, tapi penuh tanya.
Jika direnungkan lebih dalam, panggilan itu sendiri adalah tanda keterpilihan. Bukan karena kita lebih layak, tapi karena Allah berkehendak.
Firman Allah Ta’ala, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 27)
Lihatlah, yang “datang” adalah mereka yang “dipanggil” dan ditakdirkan datang. Bukan semata yang mampu, atau yang merasa siap. Panggilan ini adalah misteri yang hanya bisa dijelaskan oleh kehendak-Nya.
Bahkan dalam ayat itu, Allah tidak menyebut “mereka yang kaya” atau “mereka yang kuat”, melainkan mereka yang datang dari berbagai penjuru, seakan Dia berkata: “Aku yang memilih siapa yang datang.”
Ada yang memiliki uang miliaran, tapi hatinya belum tergerak. Ada yang ibadahnya rajin, tapi belum juga tiba gilirannya. Ada pula yang telah berusaha keras, namun gagal karena alasan visa, penipuan, atau alasan tak terduga lainnya.
Sebaliknya, banyak hamba yang sederhana dalam ibadah dan berpenghasilan bisa saja, Allah bawa ke Baitullah dengan cara yang mudah dan tak terbayangkan.
Allah berfirman, “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji…” (QS. Al-Hajj: 27). Ini bukan hanya seruan untuk melangkah, melainkan ajakan untuk menyadari arah, bahwa hidup adalah safar, dan tujuan akhirnya adalah Allah.
Haji bukan hanya ibadah, tapi maqam, tempat spiritual yang hanya bisa ditempuh oleh mereka yang dipanggil. Para sufi meyakini bahwa haji sejati adalah panggilan ruhani, bukan hanya fisik. Ia adalah perjalanan jiwa yang telah diberi izin untuk “menghadap”.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menulis, “Haji adalah perjumpaan simbolik dengan Allah di rumah-Nya. Tapi perjumpaan sejati itu terjadi di dalam hati yang bersih, sebelum kaki melangkah ke Ka’bah.”
Keinginan berhaji tidak bisa begitu saja muncul tiba-tiba saat kita punya uang. Ia adalah rindu yang disemai sejak lama. Mungkin sejak dini, sejak doa orang tua kita, atau bisikan jiwa yang tak kita sadari. Rindu yang menjelma dalam sujud paling sunyi, bersama air mata yang tak terlihat orang. Lirih dan merintih memohon.
Allah berfirman, “Allah mengundang kalian ke rumah-Nya, dan Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. An-Nur: 46)
Dalam pandangan tasawuf, yang paling dekat kepada Allah bukan yang paling terlihat rajin, tapi yang hatinya paling jernih. Sebab Allah tidak melihat rupa dan harta, tapi melihat hati dan amal, kata dalam hadist riwayat Muslim.
Kadang yang diberi jalan adalah mereka yang pasrah, ikhlas, dan penuh rindu, meski dalam amal tampak biasa saja. Hati seperti inilah yang disebut oleh para arifin sebagai qalbun salim, hati yang selamat dari dunia dan penuh dengan cinta kepada-Nya.
Haji Adalah Perjalanan Cinta
Bagi yang belum berhaji, jangan putus asa. Karena Allah tidak menilai kita dari cepat-lambatnya kita tiba di Arafah, tapi dari sejauh mana rindu itu hidup dalam dada.
Haji bukan sekadar perjalanan fisik. Ia adalah perjalanan cinta. Dan cinta itu, kata para sufi, selalu tahu jalan menuju Kekasihnya.
Jika kau belum tiba di Arafah, mungkin karena hatimu sedang dilatih untuk lebih tulus mencintai-Nya. Mungkin karena Allah sedang menyiapkan waktu terbaik untuk menyambutmu, agar engkau datang bukan hanya sebagai peziarah, tapi sebagai kekasih.
Maka peliharalah rindumu. Jangan padamkan doamu. Sujud yang lirih bisa lebih cepat sampai ke langit daripada langkah kaki yang kuat.
Jangan remehkan harapan sekecil apapun, karena bisa jadi Allah menuliskan namamu di antara tamu-tamu-Nya justru karena satu bisikan sunyi yang tulus dan sembunyi.
Sungguh, bisa berhaji adalah misteri ilahiah. Ia bukan hasil logika, tapi buah cinta. Ia bukan hak eksklusif orang-orang sukses, tapi hadiah bagi mereka yang hatinya bersih dan lapang.
Siapa pun kita. Buruh, petani, pegawai biasa, marbot mushala, pengemudi online, pedagang kecil, tetap punya peluang yang sama di mata Allah, sebab yang mengundang bukan biro perjalanan dan orang kaya, tapi Dia yang memiliki dua tanah suci Mekah dan Madina.
Dan jika hari ini kita masih menanti, maka biarlah penantian ini menjadi ruang memupuk cinta. Karena tidak ada rindu yang sia-sia jika ditujukan kepada Allah. Dan tidak ada langkah yang terlalu kecil, jika ia dimulai dari hati yang tulus menuju Baitullah.
Ngopi5waktu
Ngopi5waktu adalah nama samaran penulis lepas yang menaruh minat pada isu spiritualitas, kehidupan sederhana, dan perjalanan maknawi manusia kepada Tuhannya-