Jakarta, KabarTerkiniNews.co.id – MELIHAT kiriman image poster sebuah iklan pertandingan sepak bola tahun 1954 di grup WA para “orang bola klotokan” bernama Rembuk Sepakbola Nasional (RSN), saya mendadak sumringah. Dalam hati bergumam, “Betapa jujur dan romantisnya sepakbola zaman itu.”
Antara kagum, terharu, tapi juga geli. Iklan sederhana itu terasa punya napas panjang. Membuat saya berimajinasi, lalu ingin menulis. Dan inilah imaginasi tulisan saya:
TAHUN 1954, sepak bola bukan tentang rating televisi, Bukan pula tentang sponsor di dada jersey. Ia cuma tentang kabar gembira dari mulut ke mulut. Tentang para kesatria lapangan hijau dari seberang laut yang akan datang ke sebuah kota kecil dengan tajuk duel: “Bond Makassar datang ke Kediri!”
Selebarannya dicetak sederhana. Satu warna, hurufnya kaku, bahasanya lucu, pakai ejaan Soewandi. Karena memang zamannya masih begitu.
Didalamnya tertulis, “Oleh karena beaja pertandingan sangat tinggi, maka terpaksa harga kartjis dikasi naik… Harga berdiri tiga rupiah. Duduk lima.”
Lugas dan tegas, walau terasa lugu. Kecanggihan e-ticket dan barcode jaman now sepertinya tak penting di hadapan antusiasme dan rasa ingin menonton pada masa itu.
KESEBELASAN Makassar bukan sembarang tamu. Mereka datang sebagai juara Zona E PSSI. Rekornya menggila: Balikpapan digilas 13–0, Menado 7–0, Ambon 2–0. Di Kediri, mereka ditantang bertanding dua kali.
Dan dalam turnya mereka membawa satu nama yang membuat seluruh Kediri menelan ludah: Ramang! Sang penyerang legendaris yang kemudian dibuatkan patung, ditulis dalam cerita, dan namanya masih suka disebut sampai hari ini.
Di zaman ketika kamera belum merekam setiap gol, nama Ramang sudah jadi legenda lisan. Ia bukan sekadar penyerang. Ia semacam cerita rakyat tentang seorang laki-laki yang bisa menendang bola sekaligus menyepak nasib buruk di lapangan.
Begitu besar karisma Ramang, sampai-sampai empat tahun kemudian ia nyaris membawa Indonesia ke Piala Dunia 1958.
Di sisi lain, tuan rumah pun tak mau kalah. Kesebelasan Kediri menurunkan bintangnya. Si Kancil Ariadji. Pemain lincah yang diiklankan dengan kalimat menggoda sekaligus menantang.
“Siapa jang lebih tjepat: Si Kantjil atau Ramang? Boleh lihatsendiri!”
Wow! Kalimat promo itu rasanya sudah cukup membuat siapapun ingin masuk lorong waktu untuk menonton pertandingannya.
Kabarnya, pertandingan itu dimenangkan oleh Bond Makassar. Skornya berapa? Saya cari di Google tak ketemu.
Kiranya, begitulah marwah sepak bola tempo doeloe. Belum ada istilah branding, tapi sudah paham cara menggugah penasaran. Belum ada marketing campaign, tapi tiket bisa habis hanya karena satu kalimat; “Boleh lihat sendiri!”
Lapangan Setonobetek sore itu mungkin tak berumput sempurna. Tak ada papan skor digital. Bolanya pun bisa jadi kusam apa adanya.
Tapi siapa peduli? Yang datang bukan sekadar ingin menonton pertandingan, melainkan menyaksikan peristiwa besar yang kelak bisa diceritakan pada anak-cucu.
Ramang dan Ariadji di Kediri bukan cuma sejarah pertandingan. Mereka adalah simbol romantisme sepak bola Indonesia yang pernah punya panggung begitu polos dan tulus. Tidak besar karena uang, tidak pamer karena pamor. Tapi karena orang-orang datang menonton dengan cinta dan kegembiraan yang murni.
“Pendjualan Kartjis Dimuka… Mengingat sudah Tidak ada kekuatiran hudjan, para penggemar sepakbola dipersilahkan membeli kartjis lebih dahulu, dari pada nanti berdjedjel-djedjel dimuka loket.” Begitu jujur, begitu lucu. Kalimat yang tak mungkin lagi keluar dari copy-writer iklan zaman ketika “dua jempol lebih bahaya dari mulut”.
HARI ini, stadion boleh megah. Kamera bisa banyak. Ada VAR. Pemain Liga pun datang dari berbagai negara. Tapi aura seperti tahun 1954 itu tetap perlu dijadikan kenangan dan pemahaman. Bahwa Indonesia sebenarnya sudah sangat mencintai sepak bola sejak lama.
Maka, sungguh tega kalau dalam perjalanan sejarahnya, ada yang “menyelingkuhi” cinta itu demi kepentingan diluar sepak bola.
Yusuf Ibrahim – Penikmat Sepak Bola







