Makna dan Asal Usul Kupat Jembut Khas Semarang, Begini Bentuknya!!

Oplus_131072

SEMARANG – Tradisi Syawalan di Kampung Jaten Cilik, Kota Semarang, kembali digelar tahun ini. Salah satu tradisi yang mencuri perhatian adalah “Kupat Jembut”—sebuah hidangan khas berupa ketupat yang dibelah di bagian tengah, kemudian diisi dengan taoge (kecambah), sambal kelapa, dan sayuran yang menyerupai rambut.

Tradisi Kupat Jembut ini berlangsung setelah salat Subuh di Masjid Roudlotul Muttaqin, Semarang. Sebelum dibagikan kepada warga, ketupat yang sudah disiapkan terlebih dahulu didoakan bersama di masjid tersebut.

Ketupat ini memiliki ciri khas karena disajikan tanpa opor ayam, cukup dengan isian urap taoge dan sayur-mayur. Usai didoakan, warga dan anak-anak menikmati ketupat ini secara bersama-sama dalam suasana yang penuh kebersamaan dan kehangatan.

Anak-anak yang hadir juga mendapatkan ketupat dan uang sebagai bentuk sedekah. Mereka dengan antusias berkumpul di halaman masjid untuk berebut ketupat dan uang yang dibagikan oleh warga sekitar.

Suasana semakin meriah ketika setiap warga dari rumah mereka ikut serta membagikan uang kepada anak-anak. Anak-anak pun berlarian menyambut warga yang membagikan ketupat dan uang sedekah ini. Momen tersebut menjadi ajang kegembiraan sekaligus silaturahmi antarwarga Kampung Jaten Cilik, Kecamatan Pedurungan, Semarang.

BACA JUGA:  Peringatan Hari Pajak 2025 : "Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh"

Selain membagikan Kupat Jembut, warga juga membagikan uang sebagai bentuk rasa syukur dan kepedulian sosial kepada anak-anak di lingkungan sekitar.

Tradisi ini memiliki akar sejarah panjang. Diketahui, tradisi Kupat Jembut telah berlangsung sejak sekitar tahun 1950. Saat itu, warga Pedurungan baru kembali dari pengungsian akibat Perang Dunia II di daerah Mranggen (Demak) dan Gubug (Grobogan). Dalam situasi ekonomi yang sulit, warga tetap bersyukur dengan mengadakan Syawalan secara sederhana menggunakan ketupat yang diisi taoge, sambal kelapa, dan sayuran.

Makna dari ketupat yang dibelah dan diisi sayuran ini adalah simbol melepas permusuhan dan saling memaafkan. Tradisi ini mengajarkan pentingnya keikhlasan, persaudaraan, dan rasa syukur setelah menjalani bulan Ramadan.

Menariknya, meski namanya terdengar nyeleneh, istilah “Kupat Jembut” ini sudah dikenal sejak lama dan tidak memiliki unsur pornografi. Nama tersebut murni berasal dari bentuk ketupat yang diisi taoge menyerupai rambut halus. Tradisi ini sudah menjadi bagian dari kearifan lokal warga Jaten Cilik.

Munawir, Imam Masjid Roudlotul Muttaqin, menjelaskan bahwa tradisi ini merupakan wujud rasa syukur warga setelah sebulan penuh berpuasa.

BACA JUGA:  TNI-Polri dan Warga, Bangun Tempat Tinggal Layak untuk Keluarga Buruh di Sidoluhur.

Sementara itu, Adit, salah satu warga, mengaku senang dengan adanya tradisi ini. “Uang yang saya dapat akan saya tabung. Semoga tradisi ini terus dilestarikan,” ujarnya.***

Yovita Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *