Patriotisme Konstitusional, Jalan Baru Kontribusi Militer Dalam Demokrasi dan Stabilitas Nasional

Jakarta, KabarTerkiniNews.co.id  – Pada waktu yang begitu cepat, massa rakyat bergejolak bergerak secara masif melawan keangkuhan parlemen.

Aksi yang pada mulanya kritis serta demokratis, berubah menjadi anarkis bahkan vandalis. Kemarahan menyasar simbol-simbol kesombongan politik. Ada upaya memporak-porandakan lumbung ekonomi. Namun, dibalik Agustus Kelabu itu ada 10 nyawa tidak berdosa direnggut paksa.

Baca Juga

Mereka meninggalkan kesedihan larut, dan membunuh setiap butir harapan keluarga yang ditinggalkan. Lantas, pada gilirannya Militer dituduh dan dipaksa bertanggung jawab atas nama Hak Asasi Manusia. Babak baru ironi demokrasi kita.”

Jakarta 2025, ketika pemerintahan baru sedang menyusun rencana memperbaiki tata kelola negara. Dalam rangka mewujudkan rakyat sejahtera. Bagi Presiden Prabowo, setiap hari adalah daya upaya mewujudkan kedaulatan bangsa atas nama rakyat sejahtera.

Dalam jejak pikiran Presiden Prabowo, tertinggal gagasan keadilan sosial, kesejahteraan dan kerakyatan. Keyakinan itu adalah misi kemerdekaan Indonesia, yang selalu kita bicarakan sebagai pedoman perubahan.

Disaat membaca masa lalu Indonesia, kita mengerti dimana mengelola negara tidak sesederhana menikmati telenovela. Bahwa rakyat kita, perlu secara bersama-sama dipersiapkan menuju situasi dunia yang sedang tidak baik-baik saja.

Apa yang sedang berkecamuk pada kita? Rakyat kecewa, ketika kaum muda sulit mendapatkan peluang kerja. Pada waktu yang sama, elit politik tertawa bahagia seraya merayakan sebuah pesta. Ada ketimpangan, tertimbun kemiskinan, sekian lama mereka diam bersama penderitaan.

Lantas pada saatnya merumuskan satu kesimpulan, bahwa Parlemen hanyalah sebuah simbol kesombongan dan keserakahan.

Politisi pesolek, diserang, diterjang tanpa batas ampun. Akibat kekecewaan yang begitu lama bersarang. Meski kita tahu dan sadar bahwa kemanusiaan serta keimanan tidak pernah membenarkan sebutirpun aksi penjarahan apalagi pembakaran. Tidak ada satu bait “penjarahan” yang layak kita bela sebagai pembenaran.

Amuk itu tidak datang tiba-tiba, tanpa adanya fakta dan data yang mendorong setiap orang untuk berani berkata dan melawan secara terbuka. Kaum Mahasiswa bergumul dengan warga kota, dalam waktu-waktu itu setiap kata-kata mereka adalah berita.

*Takdir Kedaruratan, Melahirkan Kedaulatan*

Mengenali Indonesia, tidak dilepaskan pada sejarah heroik perjuangan perang. Kita perlu meyakini bahwa kemerdekaan tidak dipersonifikasikan pada orang-perorang. Kemerdekaan adalah wujud dari lembaga perjuangan.

Diksi kemerdekaan dan perjuangan sejatinya tidak boleh dipisahkan. Atas itulah kita percaya bahwa “kemerdekaan dan perjuangan” adalah wujud kemenangan atas konfrontasi bersenjata bersama diplomasi kata-kata. Peran aktivis dan pemikiran, juga milisi bersenjata perjuangan memiliki tempat yang sama-sama terhormat.

Meminjam Giorgio Agamben, kedaruratan tidak selalu insurgensi eksternal dalam koridor pertahanan nasional. Justru Agamben mengkonfirmasi, bahwa kedaruratan dikarenakan situasi anomali. Dari akibat dampak pertempuran beberapa otoritas berkepentingan.

Agamben ingin menekankan, bahwa kadangkala kedaruratan terjadi akibat sebuah perebutan otoritas yang pada akhirnya berdampak destruktif pada tatanan masyarakat hingga berujung kekacauan.

Sesungguhnya, pertarungan otoritas itu ingin melahirkan *kedaulatan kolektif yang inklusif*. Bahwa kedarurtan tidak selalu dimulai dengan pemicu bersenjata. Ternyata politik propaganda dan manipulasi ekonomi juga bisa menjadi pemucu awal terbentuknya pra kondisi kedaruratan.

Indonesia sebagai bangsa, menghadapi kedaruratan bukan sebagai pemula. 1948 Agresi Militer Yogyakarta, 1957 Pergolakan Permesta, 1959 Dekrit Presiden Soekarno, 1965 Penggulingan Orde Lama, 1998 Penggulingan Orde Baru, 2020 Pandemik Korona.

Artinya, sebagai negara, kedaruratan adalah pengalaman yang tumbuh bersama dalam pendewasaan bangsa dan tata negara.

Sama bahayanya, kedaruratan yang dikondisikan oleh aktor non-negara. Kedaruratan yang mewajibkan kita untuk memperhatikan aksi-aksi kelompok kejahatan adidaya. Sedemikian lama mereka merampok uang negara. Siapa mereka? Koruptor-Mafia.

*Patriotisme Konstitusional; Re-Unifikasi Golongan Sipil dan Militer dalam Pembangunan Demokrasi Sosial Indonesia*

Demokrasi bukan ruang hampa yang diisi kata-kata bijak berasosiasi pada moralitas tinggi. Jauh hari sebelum kesetaraan gender, persamaan hak, bahkan keadilan ekologi dibincangkan. Demokrasi dilahirkan berdasarkan konsensus bersenjata yang tumpah darah.

Di Amerika, tanah dimana sebagian para pejuang hak asasi manusia percaya bahwa disanalah demokrasi pada awalnya tercipta. Atau Eropa Barat, sebagai arena pertarungan ideologi pemikiran. Dimana para pemikir demokrasi berkiblat.

Pada dua tempat itu, demokrasi bersinggungan dengan perang, militer bahkan peralihan kekuasaan yang anti-kemanusiaan. Kita tidak menutup mata, bahwa demokrasi yang kerap lantang diteriakan hanya bisa dinikmati dalam situasi aman dan damai. Maksudnya, operasional demokratik membutuhkan prasyarat stabilitas nasional.

Kembali membuka catatan Alexis de Toqueville pada 1835, masa-masa perang sipil Amerika. Maka mata kita akan terbuka, bahwa demokrasi lahir dari kokangan senjata dan tetesan air mata. Bagaimana kota-kota lahir, dilatari invasi pendudukan tanah kosong yang melahirkan konsep munisipalitas negara kota. Negara kota merdeka, yang diduduki kedaulatan warga.

Dari Toqueville mengirimkan pesan pada kita, bahwa demokrasi menyisakan paradoksal dalam pergulatannya. Negara Kota yang berdiri pada masa itu, tidak lebih didasari pada semangat patriotisme kota.

Kesadaran patriotisme adalah satu bentuk kolektivitas sosial yang berjibaku mempertahankan tanah air mereka, berserta segala cara dan upaya. Maka, perang dan sipil bersenjata adalah instrumen penting dalam mengkobarkan patriotisme negara kota di Amerika. Militer punya peran penting dalam revolusi dan demokratisasi Amerika.

Patriotisme Konstitusional gagasan penting yang belum menjadi diskursus alternatif bagi demokratisasi di Indonesia. Patriotisme Konstitusional secara disiplin dan konsisten dipromosikan dalam pemikiran Jürgen Habermas dan Jan-Werner Müller.

Dalam perenungan Müller, Patriotisme Konstitusional adalah sebuah semangat dalam melahirkan konstitusi yang benar tergali dari norma dan nilai atas bentuk kecintaan pada tanah air.

Artinya, Patriotisme Konstitusional ingin tetap mempertahankan spirit kerakyatan yang otentik pada waktu yang sama merespon masyarakat kosmopolitan global. Pokok pemikiran ini adalah menseleksi kepentingan kosmopolitan, atas prioritas kepentingan umum kewargaan.

Pada sisi Republik Indonesia, reputasi dan kontribusi militer dalam penyelenggaraan negara selalu ada. Tidak dihindari bahwa golongan militer adalah organisasi awal yang terbentuk atas kesadaran perjuangan rakyat.

Milisi sipil perjuangan bersenjata, bergerak maju di garis konfrontasi dalam rangka menegakan nasionalisme. Sejalannya waktu, golongan milisi ini membentuk diri menjadi organisasi formil militer setelah kedaulatan negara berhasil dimenangkan. Yang kemudian kita kenal Badan Keamanan Rakyat (BKR).

Namun begitu, tidak berarti Patriotisme Konstitusional berujung pada nasionalimse sempit yang mendeskriditkan pemikiran universalitas kemanusiaan. Melainkan berprinsip keterbukaan pada kosmopolitan yang patriotik.

Demokrasi dimaknai berdasarkan kesadaran konsensus nasional. Dengan begitu kepentingan domestik negara adalah prioritas.
Upaya implementasi Patriotisme Konstitusional berkonsekuensi logis untuk meninggalkan diskursus dikotomi sipil-militer dalam pembangunan demokrasi nasional.

Doktrin “Dikotomi Sipil-Militer” adalah upaya segregatif pihak luar, dalam rangka menggagalkan formulasi konsensus antara golongan sipil dan militer. Dikotomi ini tentu menjadi salah satu problem terwujudnya Patriotisme Konstitusional.

Kekeroposan partai politik hari ini diakibatkan pemilu legeslatif hanya menyajikan orang-orang yang berisik, bukan orang-orang yang berisi. Partai politik telah gagal melahirkan kepemimpinan nasional yang mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluas-luasnya rakyat Indonesia.

Tentu partai politik tidak boleh dibubarkan, melainkan diperlukan reorientasi watak dan kepribadian dalam memperjuangkan agenda rakyat berlandaskan misi kemerdekaan.

Memposisikan militer sebagai musuh dalam pembangunan demokrasi juga keliru. Padahal dalam Patriotisme Konstitusional, begitu dimungkinkan adanya transaksi norma dan nilai antara organisasi militer dan organisasi sipil.

Bukan juga, Indonesia akan kembali mundur dengan melahirkan fraksi militer di parlemen. Keberadaan fraksi militer di parlemen akan menjadi persoalan baru. Patriotisme Konstitusional bukan untuk itu.

Melainkan, organisasi politik perlu membuka diri untuk mengadopsi norma kemiliteran dalam rangka pembentukan nilai reputasi dan integritas parlemen yang patriotik.

Sehingga, partai politik sebagai instrumen vital demokrasi bisa melahirkan kepemimpinan nasional yang patriotik sejalan dengan konstitusi yang terus diperjuangkan.

Abi Reksa ( Sekretaris Eksekutif Said Agil Sirodj Institute) & Tim KabarTerkiniNews.co.id

Berita terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *