Pemerintah Mendorong atau Memperlambat Pertumbuhan Ekonomi Digital?

Foto : ilustrasi

Oleh: Heru Warsito

Di tengah gembar-gembor “Indonesia Digital” dan dorongan digitalisasi UMKM, ada satu realita yang ironis dan menyakitkan: pengusaha reklame digital lokal justru seolah menjadi sapi perah negara. Mereka yang seharusnya didukung sebagai bagian dari ekosistem digital, malah ‘diperah’ lewat kebijakan pajak yang tumpang tindih, memberatkan, dan tidak adil.

36% untuk Negara, Berapa Sisa untuk Pengusaha?

Pajak reklame daerah bisa menyentuh 25% dari Nilai Sewa Reklame (NSR), ditambah PPN 11% dari nilai jual. Total: 36% langsung hilang ke kas negara, bahkan sebelum pelaku usaha menghitung biaya operasional dan bagi hasil dengan mitra titik lokasi.

Dan itu belum termasuk kewajiban perizinan, inspeksi fisik, pelaporan berkala, hingga biaya legalitas yang tidak murah. Pertanyaannya sederhana: apa yang kembali ke pengusaha lokal dari semua ini?

Platform Asing Aman, Lokal Digencet

Sebaliknya, raksasa platform digital asing yang menyedot belanja iklan nasional triliunan rupiah justru tidak dikenai pajak reklame daerah sama sekali, karena tayangan mereka dianggap berada di ranah daring (online). Pemerintah hanya bisa mengenakan PPN dan Pajak Penghasilan (PPh), itupun sering kali sulit dipungut secara optimal karena keterbatasan kontrol atas transaksi lintas batas.

Padahal, konten iklan dari platform-platform tersebut tetap dinikmati oleh masyarakat Indonesia, sama seperti tayangan dari papan reklame digital lokal. Ironisnya, pelaku lokal yang membuka lapangan kerja dan membayar pajak di dalam negeri justru dibebani lebih berat.

Dampaknya: Ketimpangan dan Perlambatan Inovasi

Perbedaan perlakuan ini menciptakan ketimpangan kompetitif. Pelaku lokal harus menaikkan harga jual iklan untuk menutupi beban pajak, sementara platform asing bisa menawarkan harga lebih murah, bahkan memberikan bonus impresi, tanpa kewajiban membayar pajak reklame di daerah tempat target iklan ditayangkan.

UMKM Justru Tersisih

Pemerintah gencar mengajak UMKM untuk go digital, tapi ironi terjadi ketika biaya promosi lokal justru mahal karena pajak reklame yang tinggi. UMKM akhirnya lebih memilih beriklan lewat media sosial asing, karena lebih mudah, lebih murah, dan tidak terbebani birokrasi.

Ini bukan soal memilih media mana, tapi tentang ketidakseimbangan sistem yang justru menjauhkan pelaku lokal dari ekosistem digital nasional.

Akibatnya:

UMKM lebih memilih beriklan di platform asing.

Inovasi lokal di sektor media dan teknologi iklan melambat.

Pemerintah daerah justru kehilangan potensi ekonomi jangka panjang demi memaksimalkan penerimaan jangka pendek.

Perlu Solusi: Regulasi Berkeadilan dan Afirmasi untuk Lokal

Pemerintah pusat dan daerah perlu menyusun regulasi baru—baik dalam bentuk Perpres, Pergub, maupun Perda—yang:

Memberikan klasifikasi pajak reklame digital yang proporsional.

Mengecualikan atau mengurangi tarif pajak untuk pelaku lokal skala kecil/UMKM.

Mengatur kontribusi pajak yang adil dari platform asing yang memperoleh keuntungan dari pasar Indonesia.

Sementara pengusaha lokal sibuk mengurus legalitas dan laporan NSR, iklan dari platform luar negeri bebas tayang ke konsumen Indonesia tanpa sentuhan pemerintah daerah. Tidak ada pajak reklame, tidak ada kontrol isi tayangan, bahkan tidak ada kontribusi langsung ke daerah.

Di mana letak keadilannya? Yang berinvestasi membangun jaringan layar digital di lapangan, yang menggaji karyawan lokal, yang menyasar UMKM—justru yang paling berat dikenai beban.

Reklame Digital Dalam Ruang = Reklame Luar Ruang?

Lebih parah lagi, banyak pemerintah daerah tidak membedakan antara signage digital dalam ruang privat (misal di kafe, restoran, atau ruang komunitas) dengan reklame luar ruang komersial besar. Semua dikenai tarif sama, bahkan seolah-olah semua pelaku reklame adalah korporasi besar dengan omzet miliaran.

Padahal banyak media digital lokal dijalankan oleh individu, komunitas, atau mitra kecil yang mencoba mencari ruang di tengah dominasi platform asing.

Perlukah Terus Diperas?

Jika semangat pemerintah adalah mendorong ekonomi digital, seharusnya:

Ada pengurangan atau penghapusan pajak reklame daerah untuk media digital skala UMKM.

Ada klasifikasi reklame yang lebih rasional dan berpihak.

Dan yang terpenting: ada keberanian untuk menyeimbangkan perlakuan antara pemain lokal dan raksasa asing.

Tanpa koreksi ini, pemerintah bukan mendorong digitalisasi, tapi memeras energi dan sumber daya pelaku lokal sampai mati pelan-pelan.


Digitalisasi sejati bukan soal wacana, tapi soal keberpihakan. Jangan jadikan pelaku reklame digital lokal sebagai “mesin kas daerah”, sementara raksasa asing terus mengeruk profit dari pasar kita tanpa kontribusi yang layak.

Indonesia tidak butuh lebih banyak pajak dari rakyat kecil. Indonesia butuh kebijakan yang adil untuk semua pelaku ekonomi digital—baik lokal maupun global.

Berita terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *