ECHANNEL.CO.ID — Dalam waktu yang nyaris berdekatan, dunia kehilangan dua sosok penjaga kehangatan—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin dan spiritual. Satu berasal dari lereng sunyi pegunungan Jawa, Indonesia. Satu lagi dari pusat spiritual umat Katolik di Vatikan. Keduanya membawa pesan yang sama: cinta tanpa syarat, dan pelayanan tanpa pamrih.
Mbok Yem, sang legenda Gunung Lawu, dikenal oleh ribuan pendaki sebagai penjaga warung tertinggi di Indonesia. Bukan hanya tentang teh hangat dan mie rebus di ketinggian 3.150 meter, tapi tentang semangat hidup yang sederhana, penuh kasih, dan tidak memilih-milih siapa yang datang.
Ia bukan, bukan pemuka agama. Tapi dari tangannya yang keriput dan senyumnya yang hangat, pendaki belajar arti ketulusan, keteguhan, dan cinta kepada sesama manusia tanpa batas.
Di saat bersamaan, Sri Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik, juga berpulang. Seorang tokoh spiritual dunia yang hidupnya dipersembahkan untuk perdamaian, keadilan sosial, dan pembelaan terhadap kaum yang terpinggirkan. Lewat kata-katanya, jutaan jiwa di seluruh dunia mendapatkan kekuatan untuk terus percaya kepada cinta dan pengampunan.

Sakit yang Sama, Pesan yang Sama
Pneumonia—penyakit yang sering dianggap biasa, justru menjadi jembatan akhir bagi keduanya. Mungkin ini bukan sekadar kebetulan medis. Barangkali semesta sedang berbicara melalui cara yang halus namun menusuk:
Bahwa bahkan tubuh paling kokoh pun bisa runtuh,
tapi cinta dan ketulusan—itu abadi.
Makna Spiritual di Tengah Perpisahan
Kepergian Mbok Yem dan Sri Paus seperti menyalakan lentera renungan:
Kini, keduanya telah kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Tapi dunia tidak kehilangan mereka—sebaliknya, dunia diajak merenung:
Bahwa cinta tidak butuh panggung besar.
Bahwa pelayan sejati bukan soal siapa kita, tetapi seberapa tulus kita hadir bagi sesama.
Satu menjaga puncak gunung dari dingin yang menusuk,
Satu menjaga jiwa dunia dari luka yang merasuk.
Dua penjaga kedamaian, dua wajah cinta yang bersahaja.
Apakah dunia masih cukup hangat setelah mereka pergi?
Siapa yang akan melanjutkan teladan mereka dalam menjaga yang kecil, yang lelah, dan yang haus akan kasih?
Di warung kecil berlantai tanah di puncak Lawu, Mbok Yem tak pernah meminta bayaran lebih. Ia juga tidak mencatat siapa yang berutang. Baginya, semua pendaki adalah anak-anak yang perlu diberi makan, disapa, dan dipeluk meski hanya lewat segelas kopi. Itu adalah bentuk pelayanan spiritual tanpa dogma.

Di Vatikan, Sri Paus mengutuk ketidakadilan, memeluk pengungsi, membela bumi yang luka, dan menolak kekerasan atas nama agama. Ia adalah suara nurani dunia dalam tubuh yang rapuh.
Dua dunia yang jauh, tapi dua jiwa yang serupa.
Keduanya mengajarkan:
Bahwa cinta tidak memerlukan gelar.
Bahwa kedamaian lahir dari keberanian untuk hadir bagi sesama.
Kini, pendaki Gunung Lawu tak lagi akan menemukan Mbok Yem di balik panci dan termos air panasnya.
Umat Katolik pun tak akan lagi menyaksikan Sri Paus berdiri di balkon Basilika Santo Petrus untuk memberi berkat mingguan.
Namun nama mereka, semangat mereka, dan kehangatan mereka tetap tinggal—dalam kenangan, dalam doa, dan dalam hati mereka yang pernah merasakan cinta tanpa syarat.
Dunia sedang gersang—oleh bisingnya ego, oleh kebekuan empati, oleh ketergesaan yang menghapus kehangatan.
Tapi dunia juga sedang menanti para penjaga baru—penjaga cinta, penjaga kedamaian, penjaga semangat untuk tetap peduli meski dalam sunyi.
Hari ini kita berduka. Tapi esok, kita harus belajar menjadi seperti mereka:
Menghidangkan kasih dalam cangkir sederhana, dan menyampaikan harapan lewat bisikan lembut doa.
Selamat jalan Mbok Yem.
Selamat jalan Sri Paus.
Kalian tidak sekadar pergi, kalian pulang—dan meninggalkan kami dengan pelajaran hidup paling agung:
Cinta yang tulus tidak pernah mati.
Redaksi Echannel.co.id | HW