Supersemar Kian Meredup: Mengapa 11 Maret Tak Lagi Semarak?

Beberapa versi dokumen yang beredar menimbulkan banyak spekulasi tentang keabsahan dan isi sebenarnya dari surat tersebut. Foto doc ; wikipedia

Jakarta, eChannel.co.id – Tanggal 11 Maret yang dahulu diperingati secara luas sebagai Hari Supersemar kini terasa semakin sepi dari peringatan resmi maupun antusiasme publik. Padahal, di era Orde Baru, momen ini begitu sakral dan dijadikan sebagai tonggak sejarah penting dalam perjalanan bangsa. Lantas, apa yang menyebabkan peringatan Supersemar kian meredup setelah reformasi?

Perubahan Politik Pasca-Orde Baru

Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret 1966 merupakan dokumen yang menandai peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Selama lebih dari tiga dekade, Supersemar menjadi simbol utama legitimasi pemerintahan Orde Baru.

Namun, setelah reformasi 1998, Indonesia memasuki era demokrasi yang lebih terbuka. Peringatan yang sebelumnya digunakan untuk memperkuat legitimasi Orde Baru mulai ditinjau ulang. Masyarakat pun menjadi lebih kritis terhadap simbol-simbol yang dianggap berkaitan dengan rezim lama.

Misteri di Balik Supersemar

Hingga kini, naskah asli Supersemar masih menjadi misteri. Beberapa versi dokumen yang beredar menimbulkan banyak spekulasi tentang keabsahan dan isi sebenarnya dari surat tersebut. Kontroversi ini membuat banyak pihak, termasuk pemerintah, enggan mengangkatnya sebagai peringatan nasional yang utama.

BACA JUGA:  Komisi C DPRD Karanganyar Optimistis Pengolahan Sampah di TPA Sukosari Bisa Dituntaskan

Sejarawan Universitas Indonesia, Anhar Gonggong, menyatakan bahwa naskah asli Supersemar kemungkinan masih berada di tangan keluarga Soeharto. Ia menilai bahwa Supersemar merupakan “jimat kekuasaan” bagi Soeharto, sehingga tidak mungkin diserahkan ke orang lain. Menurutnya, tanpa Supersemar, Soeharto tidak akan menjadi presiden, sehingga secara logika, seseorang akan menyimpan “jimat” yang membuatnya berkuasa.

Asosiasi dengan Rezim Orde Baru

Bagi banyak orang, Supersemar identik dengan Orde Baru, sebuah era yang diwarnai oleh pembangunan ekonomi tetapi juga berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, dan kebebasan pers yang terbatas. Setelah reformasi, terjadi upaya dekonstruksi sejarah yang membuat masyarakat menjaga jarak dari peristiwa-peristiwa yang dianggap sebagai alat propaganda rezim terdahulu.

Perubahan Fokus dalam Pendidikan dan Sejarah Nasional

Seiring berjalannya waktu, narasi sejarah nasional juga mengalami pergeseran. Pemerintah dan akademisi lebih menekankan peristiwa-peristiwa lain yang lebih inklusif dan merepresentasikan perjuangan seluruh rakyat Indonesia.

Saat ini, peringatan sejarah yang lebih mendapat sorotan adalah Hari Pahlawan (10 November), Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), dan Hari Proklamasi (17 Agustus). Sementara itu, Supersemar semakin kehilangan relevansinya di mata generasi muda yang lebih akrab dengan nilai-nilai demokrasi dan keterbukaan informasi

BACA JUGA:  Siasat Dua Bersaudara Tersangka Pemerasan Modus VCS, Menyamar Jadi Wanita Cantik.

Supersemar, yang dulu dirayakan dengan megah, kini semakin meredup akibat berbagai faktor, mulai dari perubahan politik, kontroversi sejarah, hingga pergeseran fokus nasional terhadap peristiwa yang lebih relevan dengan era demokrasi saat ini.

Meskipun demikian, perdebatan seputar Supersemar tetap menjadi bagian dari diskusi sejarah Indonesia. Pertanyaannya, apakah di masa depan peristiwa ini akan kembali mendapat tempat dalam ingatan kolektif bangsa, atau justru semakin tenggelam dalam arus waktu?

Laporan : Heru Warsito, Tim eChannel.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *