Timnas Minifootball Indonesia Gugur di Piala Dunia, Namun Jalan Masih Panjang

Jakarta, E Channel.co.id- Indonesia tersingkir lebih awal dari Piala Dunia Minifootball 2025. Tapi bukan berarti pulang dengan tangan kosong.

Lengkingan peluit panjang berbunyi. Indonesia kalah 0-4 dari Montenegro. Skor yang menutup perjalanan Timnas Minifootball di fase grup Piala Dunia 2025. Dengan satu kemenangan dan dua kekalahan. Hasil yang mungkin terasa pahit, namun sejatinya bukan akhir dari segalanya. Jalan minifootball masih panjang.

Ini memang debut. Tapi tetap saja, tidak ada kata “tanpa beban” di sebuah turnamen dunia.

Setelah kemenangan 1-0 atas Kosta Rika di laga pembuka, asa sempat menggelora. Sayangnya, dua kekalahan telak dari Thailand dan Montenegro membuyarkan mimpi.

“Harusnya teman-teman enjoy the game saja. Ini Piala Dunia, dan semua orang tahu kita debutan,” ucap Socrates, akrab disapa Caca, pemain senior yang absen karena cedera, dan pernah membawa Indonesia jadi runner-up Asia di Sharjah-UAE, Maret lalu, bersama mayoritas pemain yang tampil di Piala Dunia.

Pengamat sepak bola, Bung Ropan, sudah mewanti-wanti soal tekanan. Ia menyebut, melawan Montenegro, Indonesia harus bermain lepas. Tapi justru tekanan itulah yang terlihat paling nyata di lapangan. Para pemain gamang, kehilangan fokus, dan gagal mengimbangi intensitas lawan yang bermain lebih terorganisir dan sabar. Timnas sering kebingungan antara menyerang dan bertahan.

BACA JUGA:  TMMD Reguler ke-124 Kodam IV/Diponegoro : Hasilkan Karya Bakti dan Sebuah Prestasi

Mepetnya persiapan dan minimnya jam terbang adalah isu utama. Indonesia tidak pernah benar-benar siap. Tiket ke Piala Dunia didapat hanya dua setengah minggu sebelum kickoff, menggantikan Meksiko yang mundur. Persiapan mepet, organisasi permainan labil, dan strategi belum matang. Tapi ini Piala Dunia, yang tidak mudah diraih oleh cabang olahraga apapun.

Namun demikian, akumulasi catatan di atas, ada tiga kelemahan utama tim.

Pertama, pemain Indonesia belum terbiasa membaca permainan lawan. Mereka kalah cepat dan kerap kelabakan saat menghadapi tim dengan pola main yang lebih taktis.

Kedua, faktor fisik. Rata-rata pemain inti berusia 35 tahun. Mereka kalah dalam duel, mudah kehilangan bola, dan tertinggal dalam transisi. Apalagi ketika yang dihadapi tim sekelas Montenegro.

Ketiga, aspek psikologis. Tekanan tampil di panggung dunia membuat permainan mereka tak berkembang. Thailand lebih siap karena pernah dua kali tampil di Piala Dunia, dan konon liganya sudah bergulir apik. Namun demikian, sebagai sebuah pengalaman, Piala Dunia adalah modal dan sejarah. Keputusan Federasi tidak salah.

BACA JUGA:  Menaker Datangi Pabrik Sritex di Sukoharjo, Investor Baru Siap Rekrut Ribuan Pekerja

Kegagalan Indonesia tak bisa ditutupi. Alasan manis tak perlu dicari. Pun untuk diratapi. Kita harus berani menyebut, Indonesia “terpaksa” siap. Tapi ingat, keberanian mengakui ini adalah langkah pertama menuju kesiapan itu sendiri.

Ada banyak hal yang bisa dan harus dibenahi untuk selanjutnya.

Pertama, Liga Nasional yang profesional harus segera dibentuk dan digelar. Dan ini sudah diagendakan federasi dalam satu-dua bulan lagi.

Tanpa kompetisi yang profesional dan konsisten, mustahil melahirkan pemain tangguh. Liga adalah fondasi, bukan sekadar agenda tahunan. Semua insan Minifootball perlu mendukung.

Kedua, frekuensi uji coba internasional mesti ditingkatkan. Federasi Minifootball Indonesia (FSMI) lewat dukungan Kemenpora perlu membuat kalender pertandingan yang melibatkan tim-tim Asia dan Eropa. Pemain harus terbiasa dengan tekanan dan kecepatan permainan tingkat global.

Ketiga, pembinaan fisik dan mental harus menjadi standar baru. Bukan sekadar latihan teknik, tapi juga kekuatan fisik dan ketahanan batin. Di level dunia, skill saja tak cukup. Dibutuhkan stamina dan mental baja.

Minifootball mungkin belum sepopuler sepak bola konvensional atau futsal. Tapi justru di situ peluang Indonesia terbuka lebar. Saat peta kekuatan dunia masih cair, saat belum banyak negara yang mendominasi penuh, Indonesia bisa menyusup sebagai kekuatan baru.

BACA JUGA:  Dit Samapta Polda Metro Jaya Intensifkan Patroli di Titik Rawan Kriminalitas, Operasi Berantas Jaya 2025.

Butuh keseriusan tingkat tinggi jika ingin kembali berlaga di ajang internasional dan Piala Dunia yang digelar dua tahun sekali.

Kita sudah mencoba, dan gagal. Tapi kegagalan ini harus jadi penanda awal. Jika evaluasi dilakukan jujur, jika pembenahan dilakukan menyeluruh, bukan tidak mungkin lima atau sepuluh tahun lagi, kita akan bicara soal Timnas Minifootball bukan lagi sebagai peserta kejutan, tapi sebagai penantang juara.

Untuk itu, perjalanan panjang mesti dimulai dari sekarang. Dari fondasi yang rapat, sistem yang rapi, dan visi yang tak latah mengejar prestasi instan.

Indonesia tersingkir. Tapi jika dibaca dengan jernih, ini bukan akhir, ini adalah awal.

Terima kasih kepada skuad Timnas Minifootball Indonesia di Baku, Azerbaijan, yang sudah berjuang mati-matian. ***

Yusuf Ibrahim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *